perenungan sebuah wacana
Mungkin saya adalah salah satu diantara sekian kakak yang hampir nggak pernah kelihatan “ngelus” adiknya. Bagaimana saya sempat melakukan hal itu bilamana dunia nyata terus menamparnya, meskipun kehalusan belai itu menenangkan.
Dalam sebuah ilustrasi nyata, demikian kira-kira.
“dunia bahkan dapat memperkosa si adik dan kemudian belai halus kita pun pasti sudah tidak berguna yang dengan demikian akan berubah jadi jilatan bagi tubuh si adik, jilat erotis yang memberikan ekstase bagi tubuh si adik disertai tuturan, ‘tenang, dik – nikmati cumbuan kasar nafsu dunia ini, ikutilah ritme birahinya’”.
Kita jilati tubuh si adik hingga puncak, sementara dunia sedang melumat habis keperawanan pikirannya memaksanya untuk mendapatkan rasa yang tidak mungkin dinikmati secara alamiah.
Betapa hina dan rendahnya saya jika begini.
Tidak! Yang sayalakukan adalah merespon dengan ketegasan, merangsang nalar dan naluri si adik untuk mampu hadapi dunia nyata.
Bukan berarti keras, apalagi kasar.
Ini bukan perkara karakter, watak atau penempatan diri – ini adalah persiapan menuju dunia nyata – pemantapan perbekalan.
Seorang panglima perang malah akan mempelajari musuh dan medan laga, melatih pasukan dan membuat strategi terhadapnya – bukan sebaliknya sekedar mengumpulkan pasukan sementara tidak tau apa dan siapa yang dihadapi.
Keseriusan apa yang dimaknai dari hanya bercerita dan bertanya untuk kemudian melemparnya ke dalam jurang? Naïf dan bodoh.
Marilah kita buat sebuah kesepakatan besar dan penting yang menyangkut hidup daripada Akasia adalah tentang: “apa, siapa dan bagaimana Akasia itu semestinya?”
Jangan lagi kita atasnamakan anggaran yang ada di Akasia demi penetrasi kepentingan tertentu dan dimanfaatkan secara parsial.
Saat berada di Akasia, maka kita harus berbicara dan bersikap sebagai Akasia, bukan yang lain.
Dapatkan pengalaman hidup itu dari luar ke dalam, dan jangan sampai sebaliknya.
Jangan lagi kita berusaha untuk memberikan gambaran intimidatif apalagi pilihan, yang seharusnya kita sampaikan adalah materi dan biarkan adik-adik berproses sehingga kedewasaan mereka dalam berpengetahuan danbergeraklah yang menyampaikan mereka kepada dunianya – ke dalam masa dimana mereka mengisi ruang-waktunya sendiri.
Tidak juga kita berikan perbandingan secara tidak seimbang dan tendensius.
Mereka (adik-adik) punya arah sudut pandang dan cita-citanya masing-masing, maka berikanlah bekalnya berupa “survivor mentaliteit”.
Jadikan mereka sebagai diri yang siap untuk “sendiri” dan mampu membuat keputusan dengan pertimbangan yang terbaik dan terarah – tidakmanja, tergantung dan tempe.
Hingga suatu saat…
Si adik malah membuat dunia berbalik ramah terhadapnya, dunia membantunya menampar siapa pun yang keluar dari jalur – bahkan si adik malah mampu mengangkat kita untuk keluar dari kerumitan.
Saat itulah…
Saya akan berterimakasih dengan belai halus disertai pelukan yang menggugah batin, yang menyimpulkan rangkuman seluruh ruang-waktu kebersamaan dalam seutuh penuh kesayangan, meski sebentar tapi menjadi detik yang merangkum.
Inilah ruang-waktu yang aya rindukan untuk bersedia hadir di hadapan saya dlam kejadian yang nyata ada, adalah saat dimana si adik mampu membopong kerentaan tubuh sang kakak untuk lepas dari kerumitan/keraguan menuju wilayah kenyamanan.
…dan saya tidak akan membelai halus si adik ketika dunia menamparnya.
…dan saya tidak akan terpaku pada pasukan sementara tidak tau musuh (masalah sebenarnya) yang dihadapi.
Sampai kepada suatu masa depan yang dirindukan, saya memang penuh romantisme karena saya dibentuk oleh para pecinta alam untuk jadi pecinta alam dan bukan dilahirkan menjadi sekedar “ujung kuku pecinta alam”.
Kenapa saya tampak selalu berkutat pada konsepsi?
Adalah karena selama ini Akasia masihlah berdiri sebagai wacana belaka sementara kita sibuk menarik-ulurnya dalam konteks yang sempit (picik) sebatas profesi kita.
Maka itulah saya berharap bahwa Akasia itu tidak lagi hanya sekedar idea/wacana belaka.
(kembali ke dasar, petualangan menuju akar; Agung 'cubung' Pramono A. 185.13 IMPA)