Aforisma:
Seorang arsitek tertarik dan ingin memiliki sebuah tumpukan kayu saat ditawarkan untuk memilih beberapa rumah terbaik.
Kemudian seorang teman bertanya, “kenapa anda lebih memilih tumpukan kayu yang tidak terurus itu dibandingkan dengan sebuah rumah indah sebagaimana yang lain?”
Arsitek tersebut menjawab, “saya adalah seorang arsitek, maka saya membuat rumah yang diinginkan”.
Teman tersebut masih penasaran dan melanjutkan pertanyaannya, “bukankah akan lebih mudah bagi anda terhadap rumah yang sudah jadi, hanya tinggal penyesuaian saja”.
“tidak”, jawab si arsitek dengan cepat, “saya tidak bisa dengan begitu saja mengatakan kepada semua orang bahwa saya seorang arsitek hanya karena memiliki sebuah rumah yang bagus. Lagipula untuk membuat rumah yang sesuai dari yang sudah jadi tentu akan membutuhkan lebih bayak biaya dan waktu serta tenaga terbuang karena mesti mengalami pemugaran untuk memenuhi keinginan, dan hal lain yang nantinya akan menambah sebagai kesulitan adalah bahwa kita harus mempelajari pondasi dan kerangka awalnya terlebih dahulu”.
“jadi anda tetap dengan kayu-kayu itu?”, tanya si teman sekali lagi.
“bukan saya yang memilih tumpukan kayu itu, akantetapi keilmuan saya-lah yang mempunyai hubungan dengan kayu”, demikian si arsitek menerangkan ihwalnya.
Keterangan:
Cerita perumpamaan ini hanyalah tentang seorang arsitek yang konsisten dengan ilmu pengetahuan terapannya, demikian juga hal yang sama akan terjadi kepada si desainer, pelukis, penyair atau profesi lainnya, bila mereka menjaga konsistensi, cerdas dan beretika serta benar-benar menunaikan tanggungjawabnya.
Banyak sekali intepretasi dan penafsiran yang akan dimunculkan dari cerita pendek perumpamaan tersebut, dan hal itu sangat bergantung kepada diri kita, bagaimana memberikan sentuhan maknawi terhadap cerita perumpamaan (aforisma) di atas.
Bisa jadi obyektif, tapi akan lebih banyak kecenderungan yang mengakar kepada suyektifitas, dan simpul intepretasi tersebut pastilah sangan erat terkait dengan diri sendiri, merupakan representasi (mewakili) diri dengan segala situasi-kondisi yang melingkupi.
Kita tidak akan pernah bisa menjaga netralitas dan adalah hal yang sangat sulit untuk menempatkan diri sebagai penengah. Padahal, sebetulnya kita mempunyai potensi “obyektif”.
Tidak ada tendensi untuk menegur ataupun mengacu kepada salah satu atau bahkan beberapa hal aktual yang sedang berkembang di IMPA Akasia saat ini atau kapanpun itu.
Semuanya kembali kepada bagaimana kita menyikapi, bagaimana sudut pandang kita, menjadi diri sendiri atau mewakili orang lain.
Kita tidak dibentuk atau kita tidak berada pada posisi untuk memaksakan kehendak agar dapat berpikiran sama, akantetapi kita semua merupakan orang dengan pribadi yang saling berbeda dan ada untuk berpikir bersama.
Kalaupun terdapat pilihan yang mesti kita hadapi, maka hal-hal tersebut adalah:
1. berpikir karena ada tata laksana; atau
2. bergerak karena sudah terbiasa;
terserah mana yang kita pilih, namun semuanya harus mampu memenuhi unsur-unsur antara lain:
1. fleksibilitas;
2. gradasi antar masa (dinamika);
3. ruang dan waktu antar subyek;
tapi, kalo boleh saya berlancang diri – maka saya pribadi samasekali tidak percaya akan adanya pilihan, karena itu sama dengan persoalan pembelajaran pada usia dini yang belum menjajagi masa kedewasaan dan belum berada pada dunia nyata yang kompleks yang diperhadapkan dengan sesuatu “kesejatian pribadi”.
Adalah sama dengan sebuah pertanyaan multiple choice (pilhan ganda), sebagai berikut:
Berapakah hasil penjumlahan daripada 1 + 1?
1. 3
2. 9
3. 2
4. 11
5. 4
Dan setiap yang mampu, pasti tahu bahwa jawabannya cuma 1 (satu) yaitu poin 3. sedangkan yang lainnya hanayalah sekedar pengalihan yang dapat saja membuyarkan kemantapan ilmu pengetahuan dan membiasakan diri dengan ketidakpastian.
Mungkin contoh di atas adalah tentang problem matematika sederhana dalam bidang eksakta (ilmu pasti), namun, bagaimana halnya bilaman kita diperhadapkan dengan kehidupan bermasyarakat yang sangat kompleks?
“gunakan aritmatika sosial, kita harus teliti dan cermat dengan segala premis mayor dan minor untuk membuat sebuah konklusi. Dan samasekali bukan malah menggunakan rumus probabilitas”.
Lalu, bagaimana bila hasil yang kita dapatkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang kemudian terjadi?
Kita hanya manusia yang berusaha menemukan formulasi dengan jawaban terbaik, dan bila terdapat premis yang berada di luar kemampuan kita untuk menemukannya agar dapat diolah dalam perhitungannya, maka hal tersebut masih dalam batas kewajaran – namun, lihatlah hasil yang kita dapatkan mestilah akan menjadi yang paling mendekati dengan kenyataan yang akan terjadi.
Bilapun ada yang subyek lain dengan rumus/formula probabilitas (kemungkinan)-nya dapat berhasil dengan baik, maka janganlah terganggu dengan hal yang demikian itu kemudian meninggalkan samasekali akar pengetahuan yang sudah dikuasai, karena kenyataan tidaklah sama dengan upaya menghitung kancing pakaian untuk ikut serta dalam ajang adu nasib.
Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan teguran dari salah seorang senior yang juga saya sangat hormati, demikian kira-kira intinya:
“talk less do more, jangan terlalu banyak omong tapi segera lakukan – kita ini bukan politikus”.
Namun, saya malah mengucapkan terimakasih kepadanya, kenapa? Karena dia memiliki nilai kebaikan yang mesti saya patuhi dan harus saya perhatikan karena saya mengenal bagaimana kepribadiannya sehingga apa yang mesti saya ambil dari pesan moril senior tersebut.
Dan di sisi lain, saya juga mempunyai tanggungjawab untuk menjelaskan kepada beliau ini mengenai apa yang saya inginkan dengan mengikatkan diri kepada akar komunikasi melalui media kalimat atau tulisan, (kira-kira juga) sebagai berikut:
“kita pernah berada di sana dan akan selalu berada di sana dengan segala kemampuan kita untuk dapat bertahan ketika berada di sana atau dimanapun kita bertempat. Dan dalam keberhasilan tersebut pastilah kita mempunyai ilmu yang dapat dan harus dibagikan sebagai amal bagi orang lainnya, namun, bagaimana ilmu tersebut akan tersampaikan bilamana kita tidak menjabarkannya dalam bentuk kalimat untuk kemudian dilaksanakan? Bukankah kita hanya akan terjebak kepada “pelayanan” belaka? apakah yang bermanfaat selain ilmu? karena yang lain akan mengalami rusak".
(kembali ke dasar, petualangan menuju akar: Agung “cubung” Pramono, A. 185.13 IMPA)
Kita justeru harus lebih berhati-hati, saya merasa hidup dan ada di tengah individu yang masing-masing mempunyai perbedaan karakter dan latar belakang (heterogen), memang mungkin kita punya ketakutan tapi ketakutan ini mestinya dikelola sebagai pengetahuan bagi kita untuk dapat berlaku awas dan waspada, bukan untuk dihindari bukan juga untuk dihadapi secara frontal akan tetapi dikelola bersama kedewasaan pola pemikiran kita untuk mampu menjaga “saudara”.
Tidak perlu ada ketakutan di masa depan dengan calon anggota, sesama anggota atau organisasi lain. Jelaskan secara transparan bahwa kita semua punya karakter individual yang pasti saling berbeda, dengan dinamika keorganisasian yang tidak pernah sama. Segala perilaku yang dilakukan secara individu dan murni sebagai pribadi hendaknya dipandang dan dikembalikan kepada subyek atau pribadi itu dengan mekanisme sharing kepada sesama angota, orang atau organisasi lain untuk dapat saling njaga, inilah salah satu ciri kedewasaan berorganisasi (apalagi kalo ternyata subyek ini bisa nyumbangkan prestasi atau pengembangan ke dalam – berharga banget), transparansi disampaikan dengan catatan etika yaitu tanpa penyebutan nama atau penunjukan subyek.