Kita berada dalam suatu ruang dimana persaingan adalah menjadi suatu alasan, kalah-menang sebagai suatu tujuan, dan kepentingan mendominasi pertimbangan. Makin lama, maka kearifan akan semakin hambar, dan kemunafikan cenderung tak terkendali hingga menjadi benteng pertahanan rasio.
Saat inilah ketidakwajaran muncul untuk memanfaatkan kebimbangan guna menebar simpati dan menghimpun dukungan, berasimilasi melalui integritas dengan pikiran pendek dan sempit yang kemudian bertransformasi dengan regenerasi sehingga waktu tampak diam.
Bila proses mutasi ini terus berlanjut dengan tanpa disadari menjadi suatu hal yang biasa, maka tak ada keadaan yang lebih mengkhawatirkan bagi jaman dan peradabannya selain kewajaran yang tersingkir dari hakekatnya sendiri secara tidak terhormat.
Perbedaan adalah kekayaan akan pengetahuan dan konsekuensi atas penguasaan suatu bidang keilmuan, namun, bila daya paksa dimunculkan oleh suatu sebab yang bahkan tidak pantas untuk dijadikan sebagai alasan, maka itulah yang dinamakan sebagai pembodohan terhadap orang lain dan penyempitan simpul syaraf pemikiran yang memang sudah pendek.
Bagi kita, kekerasan bukanlah suatu cara hidup untuk dihargai, akantetapi adalah naluri untuk menghargai hidup.
Keutamaan manusia dari mahluk hidup lainnya adalah pada akal yang menempatkan benar atau salah sebagai benar atau salah, dan bukannya malah memaksakan ini benar atau itu salah, karena hal yang semacam ini adalah sebuah kecenderungan teknis penghasutan, karena hal inilah maka kita memilih pemahaman sebagai proses pengetahuan yang empirik.
Ketegasan memang membutuhkan sarana manifestasi untuk membuktikan eksistensinya, yang apabila si tidak mau tahu hadir maka ia akan menampakkan wujudnya sebagai kekerasan.
Namun apabila pemahaman dikedepankan, maka itulah yang dimaksudkan dengan kewibawaan.
Pecinta alam sebagai status memang akan selalu menjadi obyek yang dikambinghitamkan oleh subyektifitas dan difitnah oleh retorika karena bertahan dengan sikap yang apa adanya, sisi baiknya – hal yang demikian berarti menandakan bahwa kita ‘pecinta alam’ memang merupakan lawan yang disegani oleh para hipokrit.
Dan pecinta alam terus dianggap sebagai tawanan politik dengan belenggu birokrasi, pecinta alam tidak ingin bermain politik karena berusaha jujur dalam membaca keadaan agar senantiasa tenang.
tidak! sekali lagi kita katakan bahwa pecinta alam bukanlah seperti apa yang dibayangkan sebagaimana mimpi buruk yang selalu datang setiap kita tidur, namun hal negatif mengenai pecinta alam adalah merupakan suatu kesan belaka, yang dapat disandang oleh setiap orang ataupun lembaga lainnya.
Bukan pula berarti bahwa kita lepas dan cuci tangan terhadap penilaian yang mendiskreditkan atau menyudutkan diri kita.
Bukankah sebaiknya kita tetap pada keadaan kita masing-masing agar mampu dinamis, tidak saling menjatuhkan karena memiliki perbedaan yang diperuntukkan untuk saling mengisi dari seluruh kekurangan yang ada sebelum adanya kita.
Kita punya satu kata yang tepat apabila hal-hal tersebut di atas tidak mampu diusahakan dengan baik… ‘nelangsa’.
Apa pun yang kita lakukan adalah merupakan refleksi atas sebagian kecil dari kenyataan hidup yang tanpa rias wajah ataupun topeng penutup, tantangan hidup untuk mengenal lebih dekat, menghadapi langsung obyek yang membuat kita merasakan keberadaan sebagai manusia tanpa harus merasa lebih dibanding yang lain ataupun angkuh.
Kita katakan bahwa kita bukanlah seperti mereka yang suka mengatasnamakan dan yang membuat kebutuhan hidup serta pendukungnya itu menjadi mahal harganya – adalah bukan hasil dari perbuatan yang diidentikan sebagai sifat kami, malah politik.
Bila ada yang menilai bahwa degradasi kualitas pranata hidup dan etika moral disebabkan oleh rasa cinta akan alam, maka hanya dua kemungkinan jenis manusia yang berpikir demikian, yaitu:
‘si naif yang sering mendramatisir dan si picik yang suka mempolitisir’Ketika suatu kepentingan mendominasi pertimbangan dan mengarahkan pada suatu situasi hidupan yang layak berdasarkan cara pandang yang sempit, maka kita membawa pandangan atas berbagi situasi yang saling berhubungan dan tak terpisah serta membutuhkan berbagi macam sudut pandang, sehingga kesadaran akan muncul sebagai yang layak hidup secara komprehensif.
Begitu pula saat persaingan menjadi alasan pembenar, maka hasil yang didapat akan selalu dilar perhitungan dan cenderung memakan banyak sekali korban.
Kitalah yang mengangkat romantisme hidup bahwa untuk memperoleh keutamaan dibutuhkan suatu pengorbanan atas waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit serta hati yang lapang.
Kalah-menang dapat merupakan tujuan yang dinilai dengan tolok ukur kepuasan, dimana tidak mempunyai batasan secara jelas selain tertawa di atas penderitaan orang lain.
Arah semakin tidak teratur, karena hasil yang didapat tidak memiliki tata urutan langkah yang sistematis dan hanya menjadi satu jejak yang tanpa awalan maupun kelanjutan… terus terinjak dan tumpang tindih.